Penulis : Fred K.
Editor : JFR
Makassar (Radarnkri.com) – Pengamat Budaya Dr Muhammad Ali A, MPd mengatakan, pendidikan berbasis kearifan lokal di era revolusi industri 4.0, orang tua dan guru harus bersinergi membentuk karakter anak agar hasilnya sesuai yang diharapkan.
Sebab, perkembangan teknologi yang semakin pesat berdampak sangat besar terhadap perkembangan karakter dan kepribadian anak.
Hal itu dikemukakan pengamat Muhammad Ali yang juga salah seorang Dosen Bahasa dan Sastra di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Sulawesi Selatan menanggapi pendidikan di era perkembangan teknologi yang sangat pesat dikaitkan dengan kearifan lokal, di Makassar, Rabu.
Menurut dia, teknologi yang semakin maju telah membawa dampak positif dan negatif terhadap perkembangan karakter dan kepribadian anak.
Dampak positifnya sangat banyak, misalnya anak-anak dengan mudah mengakses materi-materi bahan ajar melalui internet, menyetor tugas melalui email, WA dan lainnya.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga dampak negatifnya banyak, di antaranya dengan mudah mengakses bahan tontonan yang sebenarnya kurang mengandung unsur pendidikan.
Cara mengatasinya, menurut dia, tentunya tidak lepas dari peran orang tua dan guru di sekolah. Orang tua dan guru harus bersinergi dalam membentuk karakter anak didik.
Orang tua harus melakukan berbagai cara untuk meminimalisasi agar anak-anak tidak larut dalam hal-hal yang negatif, misalnya dengan menanamkan pendidikan agama sejak dini serta menerapkan kearifan lokal sesuai adat istiadat yang berlaku.
Kalau bagi guru-guru di sekolah, ujarnya, berusaha mengintegrasikan pendidikan nilai dengan bidang studi yang diajarkan. Dengan demikian, lanjutnya, lambat laun anak-anak akan tertanam dimemorinya (ingatannya) betapa pentingnya nilai-nilai agama dan kearifan lokal dijunjung tinggi sebagai orang timur.
Menurut Muhammad Ali, kurikulum 2013 yang biasa disebut K.13, telah mengubah pola perilaku anak, etika dan sopan santunnya. Kurikulum itu menekankan pada domain afektif atau sikap, kemudian pengetahuan, dan selanjutnya keterampilan.
Berbeda dengan Kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan domain pengetahuan, kemudian sikap, selanjutnya domain keterampilan. Namun masing-masing memiliki kelebihan, tinggal bagaimana peran guru dan orang tua dalam menyikapi.
Perubahan yang terjadi pada diri anak dengan diberlakukan K.13 tersebut adalah menonjol etika sopan santunnya.
“Saya kira semua ini adalah hasil dari upaya kita melestarikan kearifan lokal melalui K.13,” ucapnya.
Dia mencontohkan, salah satu daerah di Sulsel yakni Kabupaten Maros sangat kental dengan budaya kearifan lokalnya dengan istilah “Butta Turikale”.
Ungkapan atau kearifan lokal ini memiliki makna yang dalam. Butta Turikale berasal dari bahasa Makassar, yang artinya “tanah orang di badan atau tanah keluarga”.
Artinya, semua orang yang tinggal atau berdomisili dan atau mencari kehidupan di Maros, maka Maros itu adalah kepunyaannya. Mereka harus memelihara dan membangun daerah tersebut sebagai miliknya.
Sehingga melalui kearifan lokal semacam itu, kita berharap mampu memberikan kontribusi yang positif dan masukan dalam mendidik anak-anak bangsa agar tetap dalam koridor menjunjung adat istiadat sebagai bangsa yang berbudaya, mampu bersaing di era revolusi industri tanpa menggeser nilai-nilai kearifan lokal, ujarnya. (FK/JFR).